Puasa itu diwajibkan atas setiap muslim yang aqil baligh, muqim lagi mampu serta selamat dari penghalang, seperti haidh dan nifas.
Tanda baligh itu dapat diketahui dengan salah satu dari tiga cirinya, yaitu keluar mani (sperma atau ovum) karena mimpi atau lainnya, tumbuhnya rambut pada seputar kemaluan dan berumur genap 15 tahun. Ada tanda keempat, yaitu bagi wanita adalah haidh (menstruasi). Maka wanita yang sudah haidh wajib berpuasa sekalipun di bawah umur 10 tahun.
Anak-anak dianjurkan berpuasa bila sudah mencapai usia 7 tahun bila memungkinkan (mampu); dan sebagian ulama menyebutkan bahwa apabila sudah mencapai usia 10 tahun lalu tidak berpuasa, maka anak itu dipukul, sebagaimana membiasakannya shalat.(35) Dan anak yang berpuasa tetap mendapat pahala, begitu pula kedua orang tuanya mendapat pahala pendidikan dan pengarahan yang mereka berikan kepada anaknya. Ar-Rubayyi` binti Mua`awwidz t, menuturkan tentang puasa Asyura' di kala puasa itu diwajibkan: “Kami membiasakan anak-anak kami berpuasa dan kami berikan kepada mereka mainan dari kapas; dan apabila salah seorang di antara mereka yang menangis karena minta makan, maka kami beri mereka kapas mainan itu hingga sampai waktu berbuka.”(36)
Sebagian orang ada yang lalai di dalam membiasakan putra-putrinya berpuasa, sampai ada di antara anak yang bersemangat untuk berpuasa dan mampu melakukannnya, namun karena bapak dan ibunya berdalih sayang dan kasihan, mereka suruh anaknya berbuka (tidak berpuasa). Mereka tidak mengerti bahwa rasa kasihan yang sebenarnya itu adalah dengan membiasakan anak berpuasa. Allah I berfirman: “Wahai orang-orang beriman, peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).
Dan seharusnya puasa putri kita pada awal masa balighnya mendapat perhatian kita, karena boleh jadi ia berpuasa di saat haidh karena malu, lalu nanti ia tidak meng-qadha' (mengganti)nya. Apabila seorang kafir masuk Islam atau seorang anak menjadi baligh, atau orang yang gila sadar kembali di siang hari Ramadhan, maka ia wajib menahan diri (dari makan dan minum) sepanjang sisa hari itu, karena mereka telah menjadi orang-orang yang berkewajiban melakukan puasa, dan mereka tidak berkewajiban untuk mengganti hari-hari sebelumnya, karena pada hari-hari sebelumnya itu mereka belum menjadi orang yang kewajiban berpuasa.
Orang yang gila (hilang akal) itu tidak kena beban taklif. Dan jika seseorang kadang-kadang gila (hilang akalnya) dan kadang-kadang ia sadar, maka ia wajib berpuasa di waktu sadarnya saja. Dan jika ia gila di siang harinya, maka puasanya tidak batal, sebagaimana jika seseorang pingsan karena sakit atau lainnya juga tidak batal), karena ia telah berniat puasa di saat ia sadar (berakal) (37); dan demikian pula hukumnya orang yang berpenyakit ayan.
Barangsiapa meninggal dunia di tengah-tengah bulan Ramadhan, maka ia beserta para walinya tidak mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan hari puasanya.
Barangsiapa yang tidak mengetahui (karena bodoh) kewajiban puasa Ramadhan, atau tidak tahu bahwa makan atau bersetubuh di siang Ramadhan itu haram, maka menurut jumhur ulama, ia dimaklumi (dima`afkan) karena yang serupa dengannya juga dimaklumi, seperti orang yang baru masuk Islam, orang muslim yang berada di negeri perang dan seperti orang yang hidup di tengah-tengah orang kafir. Adapun seorang muslim yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak ada kesulitan baginya untuk bertanya dan belajar, maka orang itu tidak dimaklumi.
0 komentar:
Posting Komentar