Pages

 

Rabu, 18 Juli 2012

PUASA SEORANG MUSAFIR

0 komentar
Untuk dibolehkannya berbuka (tidak puasa) di dalam bepergian (safar) disyaratkan sebagai berikut: Safar harus memenuhi jarak atau kebiasaan perjalan jauh (sesuai perselisihan para ulama di dalam pembatasannya), safar harus melampaui negerinya dan pinggirannya (38), safar harus bukan untuk tujuan kemaksiatan (sebagaimana pendapat jumhur ulama), dan safar tidak boleh dimaksudkan untuk mencari alasan supaya boleh berbuka (tidak puasa).

Boleh berbuka (tidak puasa) bagi musafir sebagaimana disepakati para ulama, apakah ia mampu berpuasa ataupun tidak, apakah sulit baginya berpuasa ataupun tidak, sampai sekalipun kepergiannya itu selalu ada di bawah naungan (ruang AC, pent. ) dan banyak air serta disertai oleh seorang pembantu, tetap diperbolehkan tidak berpuasa dan meng-qashar shalat.(39) 
Barangsiapa sudah bertekad untuk bepergian di bulan Ramadhan, maka ia tidak boleh berniat untuk berbuka sebelum ia melakukan safarnya, karena boleh jadi rencana kepergiannya batal karena suatu aral.(40)
Seorang musafir tidak boleh membatalkan puasanya (berbuka) kecuali setelah ia benar-benar keluar dan meninggalkan kampungnya, lalu apabila ia telah terpisah dari bangunan-bangunan yang bersambung dengan kampungnya maka boleh berbuka. Dan demikian pula bila pesawat telah take off (terbang) dan melewati semua bangunan yang menyambung ke kota. Dan jika bandara itu berada di luar kotanya, maka boleh ia berbuka di sana, tetapi jika bandara tersebut di dalam kota atau bersambung dengan kota (di pinggir kota) maka ia tidak boleh berbuka, karena masih terhitung di dalam kota (kampung halaman).
Apabila matahari telah terbenam (ketika si musafir) masih ada di darat ia telah berbuka puasa, kemudian pesawat udara yang dikendarai take off (berangkat) kemudian melihat matahari, maka ia tidak wajib imsak, karena ia telah menyempunakan puasanya sehari penuh. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengulangi ibadah yang telah ia lakukan. 

Namun jika pesawat berangkat sebelum matahari terbenam, sedangkan ia berniat menyempurnakan puasa hari itu di dalam perjalanannya, maka ia tidak boleh berbuka sebelum matahari terbenam ketika ia sedang berada di angkasa, dan awak pesawat tidak boleh merendahkan pesawatnya untuk tidak melihat matahari supaya boleh berbuka (ifthar), karena perbuatan itu merupakan tindakan mencari-cari alasan. Akan tetapi jika pesawat turun (meren-dahkan jarak dari daratan) karena mashlahat penerbangan, lalu matahari tidak tampak, maka boleh berbuka.(41)
Barangsiapa (musafir) yang telah tiba di suatu negeri dan ia berniat untuk tinggal di situ lebih dari empat hari, maka ia wajib berpuasa, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Maka orang yang bepergian jauh ke luar negeri untuk studi di dalam beberapa bulan atau beberapa tahun, maka menurut Jumhur Ulama, termasuk di dalamnya empat tokoh Madzhab berpendapat bahwa orang itu sama statusnya dengan orang muqim (tinggal di sana) maka ia wajib berpuasa dan shalat secara sempurna.
Apabila seorang musafir mampir di suatu negeri yang bukan negerinya, maka ia tidak wajib imsak kecuali jika ia tinggal di situ lebih dari empat hari, karena tinggal lebih dari empat hari sama hukumnya dengan orang-orang yang muqim.(42)
Barangsiapa yang memulai puasanya di saat ia muqim, lalu ia berangkat safar di siang harinya, boleh baginya berbuka, karena Alllah I menjadikan safar sebagai sebab diberlakukannya rukhshah (keringanan), sebagaimana firman-Nya: “Dan barangsiapa sakit atau di dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.” (Al-Baqarah: 185).
Boleh berbuka bagi orang yang kebiasaannya dalam perjalanan (safar) bila ia mempunyai tempat (negeri) untuk tinggal, seperti tukang pos yang selalu bepergian untuk maslahat dan kepentingan kaum muslimin (dan begitu pula para awak bus antar kota, awak pesawat dan para pejabat lainnya, dan sekalipun kepergian mereka itu adalah rutinitas harian, dan mereka wajib meng-qadha'). Dan demikian pula para awak kapal laut yang mempunyai tempat khusus di darat untuk peristirahatannya. Adapun orang yang istri dan sarana prasarana bersamanya di kapal dan ia terus menjadi musafir, maka tidak boleh berbuka dan tidak boleh shalat qashar.
Sedangkan orang-orang badui (nomaden) yang hidupnya selalu berpindah-pindah dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya, mereka boleh berbuka dan melakukan qashar. Namun apabila mereka telah berada di tempat di mana mereka tinggal di musim panas atau di musim dingin itu, maka tidak boleh berbuka dan tidak boleh shalat qashar sekalipun mereka selalu menelusuri tempat-tempat gembalaannya.(43)
Apabila seorang musafir tiba dari perjalanannya di siang hari, maka wajib imsak (tidak makan dan tidak minum), namun dalam masalah ini terjadi perselisihan tajam di antara para ulama (44), dan yang lebih hati-hati adalah melakukan imsak untuk menjaga kehormatan bulan suci Ramadhan, namun ia tetap wajib mengqadha (mengganti puasanya) apakah dia melakukan imsak ataupun tidak. Apabila puasa telah dimulai di suatu negeri (tempat) lalu ia (musafir) melakukan perjalanan (safar) ke suatu negeri lain yang penduduknya lebih dahulu melakukan puasa daripada negerinya atau lebih belakangan, maka hukum orang musafir itu ikut kepada hukum orang-orang di negeri itu (tempat tujuan), maka ia tidak boleh berbuka kecuali jika penduduk negeri itu berbuka, sekalipun ia harus puasa lebih dari 30 hari, karena Rasulullah r bersabda: “Puasa itu adalah pada hari kamu berpuasa dan ifthar itu adalah pada hari kamu ifthar (berhari raya).” 
Dan jika puasa si musafir itu kurang dari 29 hari maka ia wajib menyempurnakannya setelah hari Lebaran hingga menjadi 29 hari, karena satu bulan Hijriyah itu tidak kurang dari 29 hari.(45)

0 komentar:

Posting Komentar