Bulan
Ramadlan bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan Allah SWT sebentar lagi
datang. Shaum atau ibadah puasa bulan Ramadlan adalah salah satu aturan Allah
untuk mengantarkan kaum muslimin menjadi manusia bertaqwa (lihat QS. Al Baqarah
183).
Namun,
sayang, dalam pelaksanaannya, Ramadlan yang sejatinya menjadi bulan ibadah
sekaligus syi'ar kesatuan umat itu ternoda oleh seringkali berbedanya awal dan
akhir Ramadlan. Perbedaan itu konon merupakan masalah lama yang acap kali
terjadi di dunia Islam, antara satu negara dengan negara lain, bahkan satu kota dengan kota lain.
Namun
di era globalisasi informasi dan canggihnya teknologi komunikasi ini, perbedaan
itu mengusik nurani kita. Betapa siaran langsung sholat tarawih dari Masjidil
Haram sepanjang bulan Ramadlon dapat diikuti oleh kaum muslimin di seluruh
dunia, termasuk di sini melalui RCTI! Tapi kenapa tak bisa diadakan siaran
langsung informasi "rukyatul hilal" awal dan akhir Ramadlan? Padahal
bulan sabit (hilal) yang menjadi obyek yang diamati guna menentukan masuknya
bulan baru adalah bulan yang satu, ya bulan sabit yang itu-itu juga?
Dimana
sebenarnya letak permasalahannya? Tulisan ini akan mengurainya dalam rangka
menjaga kesatuan umat dan kesucian ibadah kita.
Rukyatul Hilal Penentu
Awal Ramadlan dan Idul Fitri
Shaum
Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di samping merupakan ibadah yang mengatur
hubungan seorang muslim dengan Rabb-nya, sesungguhnya juga merupakan
salah satu fenomena yang menjadi syi'ar kesatuan umat Islam. Kaum muslimin
wajib memulai puasa dan merayakan Idul Fitri secara serentak pada hari yang
sama, semata-mata demi melaksanakan perintah Allah SWT yang telah mempersatukan
mereka. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini. Misalnya, sabda
baginda Rasulullah saw.:
“Berpuasalah
kalian jika melihat hilal (bulan sabit), dan berbukalah (beriedul Fitri lah)
kalian jika melihat hilal. Dan jika hilal itu tertutup debu dari (penglihatan)
kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) bilangan bulan Sya'ban itu tiga puluh
hari.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
“Sesungguhnya
satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian
melihatnya (hilal). Dan jika hilal itu tertutup awan/mendung dari (penglihatan)
kalian, maka perkirakanlah ia.” (HR. Bukhari)
Hadits-hadits
Rasul ini mengandung pengertian (dalalah) yang jelas (sharih),
bahwa sebab syar'i untuk mengawali Ramadhan adalah dengan melihat bulan sabit (ru`yatul
hilal) untuk bulan Ramadhan. Demikian pula sebab syar'i untuk Idul Fitri
adalah dengan melihat bulan sabit (ru`yatul hilal) untuk bulan Syawal.
Ini seperti sebab pelaksanaan sholat zhuhur adalah tegelincirnya (zawal)
matahari sebagaimana sabda Nabi saw.:
“Jika
matahari telah bergeser dari tengah-tengah langit, maka solatlah (zhuhur)”
(lihat An Nabhani, As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz III/43).
Hisab sekedar membantu
Sebagian
orang salah anggap bahwa dengan majunya ilmu hisab falaki (astronomi) maka kaum
muslimin tak perlu merukyat untuk menentukan awal dan akhir Ramadlan. Bahkan
mereka mememelintir kata rukyat dalam hadits tersebut sebagai “rukyat bil ilmi”
yakni ilmu hisab. Tentu hal itu tak bisa dibenarkan karena tak ada indikasi (qorinah)
yang menunjukkannya. Sehingga, perkataan Nabi SAW “Jika hilal tertutup awan/mendung
dari (penglihatan) kalian”, artinya, jika kalian tidak melihat hilal
dengan mata kalian (bi a'yunikum).
Adapun
perkataan Nabi SAW “maka perkirakanlah ia” bukan berarti merujuk
pada perhitungan astronomi (hisab). Melainkan artinya adalah menyempurnakan
bilangan bulan sebanyak 30 hari. Sabda Nabi saw:
“Dan
jika hilal itu tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian, maka
sempurnakanlah (genapkanlah) bilangannya menjadi tiga puluh hari.” (HR.
Muslim dari Abu Hurairah).
Jadi,
hisab astronomi paling modern sekalipun tak bisa menjadi penentu awal dan akhir
Ramadlan. Sebab, Allah SWT memerintahkan memulai puasa Ramadlan dan Idul Fitri
berdasarkan rukyatul hilal. Dan aturan ibadah itu datangnya mesti dari
Dzat Yang diibadahi (Al Ma'bud), muslim pun diperintahkan untuk terikat
dengan hukum syara.
Kalau
begitu, apa gunanya kemajuan ilmu astronomi bagi kepraktisan menjalankan ibadah
Ramadlan?
Mengingat
realitas perhitungan hisab modern (hisab haqiqiy tahqiqiy) kecil sekali
kesalahan perhitungannya, yakni sebesar 2 detik dalam 4000 tahun, dan
akurasinya pun diamati observer setiap bulan melalui peralatan canggih, juga
terbukti . amat jarangnya kapal dalam navigasi tersesat, dugaan-dugaan akan
gerhana bulan dan matahari yang tepat, maka perlu dipertimbangkan pengunaannya
dalam membantu mencari posisi-posisi strategis untuk rukyat di seluruh dunia.
Peranan
ilmu hisab sebagai alat bantu ini, lantaran secara riil ilmu hisab hanya dapat
menentukan wujudnya hilal dan kemungkinan dapat terlihatnya hilal. Sebaliknya,
hisab tidak dapat menetapkan terlihat atau tidaknya bulan. Tambahan lagi,
seperti dinyatakan oleh para ahli astronomis, hisab tidak dapat mendeteksi
iklim dan cuaca. Oleh sebab itu, betapapun akuratnya perhitungan hisab modern
tetap saja tidak dapat dijadikan patokan tentang rukyatul hilal. Dia
hanya sekedar membantu memudahkan rukyat, bukan malah menolak atau mementahkan
rukyat.
Jadi,
baik secara syar'iy maupun berdasarkan realitas, penentuan awal dan akhir
Ramadlan tidak dapat tidak harus melalui penglihatan terhadap munculnya hilal (rukyatul
hilal). Rasulullah saw. bersabda:
“Jika
kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah kalian. Dan jika kalian telah
melihat hilal, maka berbukalah (beridul Fitri) kalian. Jika hilal tertutup
awan/mendung atas (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia.”
Perintah
(amr) Rasulullah SAW dalam hadits-hadits untuk memulai puasa Ramadhan
berdasarkan rukyatul hilal adalah perintah wajib (lil wujub),
karena perintah tersebut adalah perintah untuk melaksanakan suatu kewajiban yang
telah ditetapkan oleh firman Allah SWT :
“Karena
itu barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al Baqarah : 185)
Perintah
(amr) untuk berbuka puasa (beridul Fitri) berdasarkan rukyatul hilal
adalah juga perintah wajib (lil wujub). Karena Rasulullah SAW telah
melarang berpuasa pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Mengingat
larangan ini adalah larangan untuk melaksanakan yang mandub atau fardhu, maka
perintah Rasulullah di dalam hadits “dan berbukalah (beridul Fitri) kalian
jika melihat hilal” berarti adalah perintah wajib (lil wujub).
Satu Rukyat Untuk Kaum
Muslimin Sedunia
Khithabusy
Syari' (seruan Allah SWT) dalam hadits-hadits di atas ditujukan bagi
seluruh kaum muslimin. Tak ada bedanya antara orang Syam dan orang Hijaz.
Begitu pula tak ada bedanya antara orang Indonesia dengan orang Irak. Sebab,
lafazh-lafazh dalam hadits-hadits tersebut bersifat umum. Dhamir jama'ah
(kata ganti berupa wawu jama') yang terdapat dalam kalimat “berpuasalah
kalian” (shuumuu) dan “dan berbukalah kalian” (wa
afthiruu), tertuju untuk seluruh kaum muslimin. Sedangkan lafazh “melihat
hilal” (ru'yatihi) adalah isim jinsi yang di-idhafat-kan
(disandarkan) pada dhamir (kata ganti). Ini menunjukkan bahwa rukyatul
hilal yang dimaksud, adalah ru`yat dari siapa saja, selama dia muslim.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA :
“Bahwa
seorang Arab Baduwi datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, 'Saya telah
melihat hilal (Ramadhan).' Rasulullah saw. lalu bertanya, 'Apakah kamu bersaksi
bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?' Orang itu
menjawab,'Ya.' Kemudian Nabi SAW menyerukan, “Berpuasalah kalian!” (HR.
Abu Dawud, An Nasa`i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
Oleh karena
itu, jika seorang muslim telah melihat hilal untuk bulan Ramadhan maupun
Syawal, di manapun ia berada, maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk
berpuasa ataupun berbuka (beridul Fitri). Tidak ada perbedaan antara satu
negara dengan negara lainnya, atau antara seorang muslim dengan muslim lainnya.
Sebab ru`yatul hilal oleh siapa saja dari kaum muslimin, merupakan
hujjah bagi orang yang tidak melihat hilal.
Menolak rukyat lantaran
beda negara?
Kinikaum muslimin hidup terkotak-kotak dalam berbagai bangsa dan negara. Setiap
kepala negara menetapkan awal dan akhir Ramadlannya sendiri-sendiri tanpa lagi
memperhatikan nash-nash syara'. Kalaupun mereka melihat pendapat fuqoha,
nampaknya dijadikan sebagai dalil sekunder. Dalil primernya adalah kekuasaan mereka
atas wilayah negara mereka, dan fanatisme mereka terhadap negara dan bangsa
mereka. Padahal keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa dan negara adalah
hasil rekayasa imperialisme Barat. Bukan sekedar perasaan kebangsaan murni.
Tengoklah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 220 juta terpecah dalam sekitar
20 negara? Kita di Indonesia prihatin atas gejala disintegrasi yang bisa
memecah negara ini menjadi lebih dari 20 negara! Bukankah mestinya 1,5 milyar
kaum muslimin ini mestinya hidup dalam satu naungan negara?!
Mengenai
ikhtilaaful mathaali' (perbedaan mathla', yaitu tempat/waktu terbitnya
hilal) --yang digunakan sebagian orang sebagai alasan (untuk berbeda dalam
berpuasa dan beridul Fitri)— adalah merupakan manath (fakta untuk
penerapan hukum) yang telah dikaji oleh para ulama terdahulu. Fakta saat itu,
kaum muslimin memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal
ke seluruh penjuru wilayah negara Khilafah Islamiyah yang amat luas dalam satu
hari, karena sarana komunikasi yang terbatas. Namun, kini fakta telah berubah.
Malahan bila konsep terbitnya bulan (mathla) digunakan menjadi tidak logis.
Dalam
konsep mathla, setiap daerah yang berjarak 16 farsakh atau 120 km
memiliki mathla sendiri. Artinya, penduduk Jakarta dan sekitarnya dalam radius 120 km
hanya terikat dengan rukyat yang dilakukan di Cakung, tapi terikat dengan hasil
rukyat di Pelabuhan Ratu. Penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan
rukyat di Tanjung Kodok tanpa perlu terikat rukyat di Makassar
dan seterusnya. Dengan konsep mathla' wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat
hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu akan terbagi menjadi 43 mathla'.
Karena
kesulitan itu, menurut KH. Sahal Mahfudz, NU pindah madzhab (intiqalul
madzhab). Sayangnya tidak pindah ke madzhab jumhur, yakni satu rukyat untuk
seluruh dunia., melainkan membuat 'madzhab' baru yakni wilayatul hukmi, yakni
. penyamaan awal dan akhir Ramadlan diserahkan pada negara nasional
masing-masing, Pertanyaan kita, apa landasan syar'i yang membolehkan wilayah
kaum muslimin terpecah menjadi lebih dari 50 negara, yakni lebih dari 50
wilayatul hukmi? Bukankah Islam hanya mengajarkan satu wilayatul hukmi untuk
seluruh dunia, yakni yang dipimpin oleh Imam Al A'zham, alias Khalifah!
Rasulullah saw. bersabda:
“Jika
dibai'at dua khalifah (kepala negara penguasa wilayatul hukmi), maka bunuhlah
yang kedua (jika tak mau meletakkan jabatan)” (HR. Muslim).
Kapankah
kita bersatu? .
0 komentar:
Posting Komentar