Setiap penyakit yang melampaui batas kesehatan seseorang, maka orang itu boleh berbuka. Dasarnya adalah firman Allah I: “Dan barangsiapa sakit atau sedang di dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya.” (Al-Baqarah: 185)
Adapun sakit ringan, seperti batuk, pusing dan yang serupa tidak boleh berbuka karenanya. Kalau menurut kedokteran, atau menurut kebiasaan dan pengalamannya atau menurut perkiraannya bahwa puasa akan membuatnya sakit, menambah parah penyakitnya, atau dapat menunda masa kesembuhannya, maka boleh bagi si sakit berbuka, bahkan makruh hukumnya ia berpuasa. Apabila penyakit yang dideritanya sudah kronis, maka si penderita tidak wajib berniat di malam hari untuk berpuasa sekalipun ada kemungkinan besok harinya ia akan sembuh, karena yang menjadi pegangan adalah kondisi sekarang.
Jika puasa dapat menyebabkan seseorang pingsang maka ia berbuka dan harus menggantinya.(46) Dan kalau sedang berpuasa ia pingsan di siang hari, lalu sadar sebelum matahari terbenam, maka puasanya sah selagi di pagi harinya ia dalam keadaan puasa. Kalau pingsan itu terjadi sebelum fajar Shubuh hingga matahari terbenam, maka menurut Jumhur Ulama, puasanya tidak sah. Adapun mengqadha puasa bagi orang yang pingsan itu wajib hukumnya, menurut Jumhur Ulama sekalipun masa pingsannya itu lama (berhari-hari).(47)
Sebagian ulama ada yang menfatwakan bahwa orang yang pingsan atau hilang akal sekejap, atau mengkonsumsi obat penenang untuk suatu maslahat hingga hilang rasa sadarnya, jika hal itu terjadi kurang dari tiga hari, maka ia wajib mengganti puasanya, karena dikiaskan kepada orang yang ketiduran, dan jika lebih dari tiga hari, maka ia tidak wajib menggantinya karena dikiaskan dengan orang yang gila.(48)
Barangsiapa yang tak berdaya kelaparan atau kehausan (karena berpuasa) hingga dikhawatirkan akan membahayakan dirinya atau menghilangkan sebagian indra-nya, maka boleh berbuka tetapi wajib mengqadha' (menggantinya), karena menjaga keselamatan jiwa itu wajib. Dan tidak boleh berbuka kalau hanya sekedar rasa lapar dan haus yang dapat ditahan atau letih atau adanya dugaan akan rasa sakit. Dan begitu pula orang yang bekerja berat tidak boleh berbuka, mereka wajib berniat di malam hari untuk berpuasa; dan jika pekerjaan ditinggalkan akan menyebabkan kemadaratan bagi mereka dan ada rasa kekhawatiran terhadap diri mereka di siang hari atau akan terjadi kesulitan besar hingga mengharuskan mereka berbuka, maka mereka boleh berbuka sekedarnya, lalu imsak (menahan diri) hingga matahari terbenam, dan nanti mereka harus menggantinya (qadha').
Dan bagi para pekerja berat seperti para penambang atau lainnya apabila mereka tidak mampu menanggung beban puasa hendaknya berupaya melakukan pekerjaannya di malam hari, atau mengambil cuti di bulan Ramadhan sekalipun tanpa gaji. Dan jika tidak memung-kinkan cuti, maka hendaknya mencari pekerjaan lain yang memungkinkan baginya untuk dapat mengerjakan dua kewajiban duniawi dan ukhrawi; dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah I niscaya Allah I memberikannya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada diduga.(49)
Musim ujian bagi para siswa itu tidak dapat dijadikan alasan untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan, dan tidak boleh menuruti perintah kedua orang tua supaya berbuka karena ujian, sebab kita tidak boleh ta`at kepada siapapun di dalam kedurhakaan kepada Allah I.(50)
Orang sakit yang masih diharapkan bisa sembuh, maka hendaknya ia menunggu kesembuhannya lalu mengganti puasanya, ia tidak boleh membayar fidyah (memberi makanan). Dan orang yang menderita sakit menahun yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya dan begitu pula seorang lansia yang sudah lemah cukup memberikan makanan setiap hari kepada seorang fakir miskin (selama bulan puasa) berupa makanan pokok sebanyak ½ sha' (kurang lebih 1,5 kg beras). Dan fidyah tersebut boleh dibayar satu kali pada akhir bulan Ramadhan diberikan kepada beberapa orang miskin, dan boleh pula diberikan kepada seorang miskin pada tiap hari. Fidyah itu wajib dilaksanakan berupa makanan karena ada nash Al-Qur'annya, dan tidak boleh diberikan kepada si miskin berupa uang (51). Dan boleh diwakilkan pembelian makanan dan penyerahannya kepada orang yang dapat dipercaya atau lembaga sosial terpercaya.
Orang sakit yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan dan menunggu kesembuhannya supaya dapat mengganti puasanya, lalu ternyata penyakitnya menahun, maka ia wajib memberi makan seorang fakir miskin setiap hari ia meninggalkan puasa.(52) Dan orang yang menunggu kesembuhan dari penyakit yang masih bisa diharap sembuh lalu meninggal dunia, maka ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa dan begitu pula terhadap wali atau ahli warisnya. Dan orang yang penyakitnya menahun lalu tidak berpuasa (karenanya) dan telah membayar fidyah (memberi makan orang miskin), kemudian dengan kemajuan kedokteran ia berobat dan berhasil sembuh dari penyakit yang dideritanya, maka ia tidak wajib apa-apa, karena ia telah melakukan kewajibannya pada waktunya.(53)
Barangsiapa sakit lalu sembuh dan mampu mengganti (mengqadha') puasanya, namun ia belum mengggantinya hingga meninggal dunia, maka diambil dari hartanya untuk diberikan kepada orang fakir miskin sebanyak hari-hari puasa yang tidak ia kerjakan. Dan jika ada salah seorang dari kerabat dekatnya (keluarganya) menggantikan puasanya, maka yang demikian itu sah saja; karena ada hadits di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwasanya r bersabda:
“Barangsiapa meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa, maka dipuasakan oleh walinya.”(54)
0 komentar:
Posting Komentar